Cinta tak ubahnya seperti pohon yang tak
selamanya terlihat segar.
Daun-daun yang dulu hijau cerah mulai menguning,
akhirnya coklat kaku.
Bunga-bunganya yang pernah indah merekah kini
layu.
Beberapa ujung tangkai pun mulai tampak
mengering.
Begitulah hidup... Tak ada yang tetap dalam hidup.
Semuanya dinamis: bergerak dan berubah,
tumbuh dan menyusut, berkembang dan tumbang.
Apa pun dan siapa pun. Termasuk, cinta suami
isteri.
Setidaknya, itulah yang kini dialami Bu Tati.
Ibu lima anak ini merasakan ada yang berkurang
dari suaminya.
Tidak seperti dulu ketika anak masih satu, dua,
hingga tiga.
Apalagi ketika belum ada anak. Wah, terlalu jauh
perbandingannya.
Saat dulu, suami Bu Tati tak pernah ketinggalan
telepon ke rumah sebelum pulang kantor.
Bahkan, sehari bisa tiga kali telepon. Kini, seminggu
dua kali sudah teramat bagus.
Itu pun karena ada yang mau ditanyakan.
Dulu, kemana pun Bu Tati pergi, suami selalu antar
jemput.
Paling tidak, mewanti-wanti agar ia berhati-hati.
“Hati-hati, ya Dik. Bisnya sering kebut-kebutan,” ucap
suami dengan penuh perhatian.
Kini, menanyakan tujuan pergi pun sudah sangat
bagus.
Dulu juga, suami kerap ngasih hadiah di hari-hari
bersejarah.
Di antaranya, hari kelahiran, dan tanggal pernikahan.
Walau hadiah cuma pulpen, buku harian, atau
Alquran saku.
Tapi, kesan yang timbul begitu dalam.
Kini, jangankan hadiah, ingat dengan momen itu
saja sudah bagus.
Mengingat-ingat masa lalu, bikin Bu Tati mengoreksi
diri. Apa yang salah.
Kalau cinta dihubung-hubungkan dengan
rupa,kenyataan itu mungkin bisa diterima.
Ia memang bukan Tati dua belas tahun lalu. Banyak
perubahan, memang.
Tapi, mestikah cinta dan perhatian harus menyusut..
sebagaimana berkerutnya wajah dan tidak
langsingnya tubuh. Apa layak itu jadi alasan.
Bukankah cinta terlihat dari pandangan mata hati.
Bukan dari simbol-simbol fisik yang terlihat dari
pandangan mata,
yang bisa menyilaukan ketika ada cahaya dan buram
di saat gelap.
Bukankah cinta perpaduan dari senang, kagum,
cocok, sayang. Bahkan, kasihan.
Tidak jarang, cinta tumbuh pesat dari akar kasihan.
Bukan hal aneh jika seorang pemuda langsung
melamar muslimah..
yang terusir dari rumahnya lantaran mengenakan
busana muslimah.
Ada juga muslimah yang dilamar lantaran statusnya
sebagai anak yatim miskin.
Lalu, kenapa cinta suami Bu Tati bisa menyusut.
Padahal kasih sayang Bu Tati tak pernah berkurang.
Dengan lima anak, Bu Tati pun mesti giat menggali
kasih sayang
agar bisa merata ke anak-anaknya.
Bukankah ini sebuah bukti bahwa adakalanya cinta
tersangkut pada rupa.
Menjamin lestarinya kasih sayang memang bukan
perkara mudah.
Dan, lebih tidak mudah lagi menjamin bahwa
kecantikan rupa tidak akan bergeser.
Karena sudah kepastian Allah bahwa muda akan
menapaki anak tangga usia menuju tua.
Semakin banyak anak tangga yang ditapaki, makin
berkurang nilai rupa.
Seorang teman Bu Tati pernah memberi anjuran
soal menjaga nilai rupa.
Sang teman menganjurkan agar Bu Tati diet, senam,
minum herba.
Tiga hal itu mesti dilakukan teratur dan terus-
menerus.
“Repot memang. Tapi, itu penting. Supaya cinta
suami tetap lestari,”
ungkap sang teman beriring canda.
Ucapan teman itu menguatkan dugaan Bu Tati: cinta
juga berbanding lurus dengan rupa.
Boleh-boleh saja Bu Tati berdalih bahwa cinta
melulu persoalan hati.
Tapi, bukankah manusia tidak semata-mata terdiri
dari hati dan rasa.
Bukankah fisik juga bagian dari unsur manusia. Dan
itu berarti keindahan rupa.
Jadi, bisa dibilang wajar kalau perhatian dan cinta
suami menurun
lantaran nilai rupa Bu Tati berkurang. Benarkah ?
Ah, rasanya tidak. Di simpangan ini, Bu Tati ragu
mau menempuh jalan mana.
Kok, sepertinya tidak adil....
Kalau dulu, Bu Tati masih sempat ngurus
kecantikan, kesegaran, dan kebugaran tubuh.
Tapi, sekarang? Duduk istirahat saja sudah sangat
sulit.
Selalu saja ada kesibukan: anak sakit, anak mau
berangkat sekolah, anak punya PR sekolah,
anak mau makan, memasak menu kesukaan suami,
mencuci, ngurus rumah.
Dan masih segudang persoalan rumah lainnya.
Itu pun belum termasuk tugas-tugas sosial
masyarakat.
Nah, gimana mau diet, kapan mau fitnes, gimana
bisa minum herba.
Bukankah diet butuh pilihan dan keteraturan
makanan yang sehat dan baik.
Dan itu berhubungan erat dengan waktu dan uang.
Begitu juga dengan fitnes dan herba.
Sulit kan kalau waktu dan uangnya belum memadai.
Jadi?
Harus ada langkah bersama supaya cinta tetap
terawat.
Tidak semua sangkutan-sangkutan yang bikin
redupnya cahaya cinta bersumber dari Bu Tati.
Bisa jadi, ada ketidakcocokan antara standar nilai
rupa suami dengan kenyataan yang semestinya.
Kalau nilai rilnya memang hanya lima puluh,
standarnya jangan dipatok sembilan puluh.
Susah ngejarnya. Paling tidak, selisih antara standar
dengan kenyataan tidak lebih dari sepuluh.
Dan nilai sepuluh ini bisa dikejar dengan diet dan
senam sederhana.
Kalau ada uang belanja lebih, bisa ditopang dengan
herba.
Memang, kehangatan cinta bisa lahir dari stabilnya
nilai rupa.
Tapi, unsur emosi pun punya andil yang lumayan
besar.
Kalau cinta cuma berpatok pada langgengnya rupa,
mungkin rumah tangga kakek nenek akan bubar
massal.
Di sinilah seninya bagaimana suami isteri bisa
memainkan emosi
sehingga cinta menjadi indah untuk dinikmati.
Kepiawaian mengelola emosi juga mampu
menjadikan cinta lestari.
Bayangkan, betapa jauhnya jarak usia antara
Rasulullah saw dengan Aisyah:
kira-kira empat puluh tiga tahun. Belum lagi
kesenjangan intelektual dan rupa.
Tapi, semua itu tidak jadi masalah lantaran irama
emosinya begitu rapi dan indah.
Rasulullah tidak perlu ragu berlomba lari bersama
isterinya,
mengecup kening isteri saat pergi ke masjid,
bersenda gurau layaknya teman,
berdiskusi layaknya guru dan murid, dan
sebagainya.
Justru, unsur emosilah yang kadang dominan dari
nilai rupa.
Bu Tati punya kesadaran baru. Bahwa, merawat
cinta merupakan upaya bersama
mengelola nilai rupa agar tidak jatuh drastis.
Dan, memainkan irama emosi dengan saling percaya
dan saling membutuhkan.
Cinta memang tak ubahnya seperti pohon yang
tidak selamanya segar.
Karena pohon memang tidak akan pernah kokoh
kalau hanya dinikmati kesejukan, keindahan, dan
buahnya.
Ia juga butuh siraman air, kesuburan tanah, dan
pagar perlindungan.
Thursday, August 9, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment